Setelah kita mengetahui cara-cara mengevaluasi diri, perlu kiranya kita tahu apa manfaat dari mengintrospeksi diri. Dengan mengetahui hal ini barangkali kita rajin untuk merutinkannya setiap saat.
Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:
Pertama, musibah terangkat dan hisab
diringankan
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab
terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika
seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,
وَإِنَّمَا
يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya
bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini
kehidupan, maka jalan keluar
dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa sallam,
dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ
بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil
ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia)
dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan
kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran
agama”
Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,
حتى يراجعوا دينهم
“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka”
[Shahih. HR. Abu Dawud].
Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri
merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan
dan mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan
sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan
yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits
yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup
di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari
bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa
yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah.
Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain,
dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri
tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja
itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata
kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan
oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya,
kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah
azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi
kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh
kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi
mereka.
Ketiga, memperbaiki hubungan
diantara sesama manusia
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk
memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ،
فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى
يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan
Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang
memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi
kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya shahih. HR. Ahmad].
Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang
bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri
sehingga mendorong mereka untuk berdamai?
Keempat, terbebas dari sifat nifak
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang
telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari
sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,
مَا عَرَضْتُ
قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا
“Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku,
melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya
menyelisihi perbuatannya).”
Ibnu Abi Malikah juga berkata,
أَدْرَكْتُ
ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ
يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى
إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun
dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan
Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar
mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,
إِنَّمَا
خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا
لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا
دَاهَنُوا بِالسُّكُوتِ
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang
hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak
mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat
dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa
dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia
terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia
dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk
mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka
mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).
Manusia merupakan makhluk yang lemah, betapa seringnya
dia memiliki pendirian dan sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya
mereka yang dinaungi ajaran agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang
tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah.
Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku orang-orang yang kembali
kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Disadur dari artikel al-Muraja’ah wa at-Tashhih
0 komentar:
Posting Komentar